Oleh :
Dr. Sondang Aemilia Pandjaitan-Sirait,
SpKK
Seringkali sebagian orang menilai bahwa
jenis musik yang baik didengar itu hanya masalah selera. Namun di lain pihak
kita juga menyadari, bahwa musik dapat mempengaruhi kita secara emosi, fisik,
mental, dan spiritual. Jenis musik mana yang baik untuk kesehatan emosi, fisik,
mental, dan spiritual sering membawa kita pada berbagai kontroversi. Pada
kesempatan ini, saya akan sedikit memberikan data-data penelitian mengenai efek
musik terhadap berbagai bagian dan fungsi tubuh kita, termasuk bagaimana
efeknya terhadap otak, peningkatan berbagai hormon, dan hubungannya dengan
ritme tubuh.
HUBUNGAN
MUSIK DENGAN FUNGSI OTAK
Semua jenis bunyi atau bila bunyi tersebut
dalam suatu rangkaian teratur yang kita kenal dengan musik, akan masuk melalui
telinga, kemudian menggetarkan gendang telinga, mengguncang cairan di telinga
dalam serta menggetarkan sel-sel berambut di dalam Koklea untuk selanjutnya
melalui saraf Koklearis menuju ke otak. Ada 3 buah jaras Retikuler atau
Reticular Activating System yang diketahui sampai saat ini. Pertama: jaras
retikuler-talamus. Musik akan diterima langsung oleh Talamus, yaitu suatu
bagian otak yang mengatur emosi, sensasi, dan perasaan, tanpa terlebih dahulu dicerna
oleh bagian otak yang berpikir mengenai baik-buruk maupun intelegensia. Kedua:
melalui Hipotalamus mempengaruhi struktur basal "forebrain" termasuk
sistem limbik, dan ketiga: melalui axon neuron secara difus mempersarafi
neokorteks. Hipotalamus merupakan pusat saraf otonom yang mengatur fungsi
pernapasan, denyut jantung, tekanan darah, pergerakan otot usus, fungsi
endokrin, memori, dan lain-lain. Seorang peneliti Ira Altschuler mengatakan
"Sekali suatu stimulus mencapai Talamus, maka secara otomatis pusat otak
telah diinvasi."
Sebuah survey pada suatu seminar
menunjukkan bahwa pendengarnya mengatakan bahwa mereka tidak mendengarkan syair
dari sebuah lagu. Namun pada waktu lagu tersebut diperdengarkan, separuh dari
mereka dapat melagukannya tanpa mereka sadari. Hal ini menunjukkan adanya
memori dalam otak yang mampu merekam apa saja yang masuk melalui pendengarannya
bersama musik, tanpa mampu dicerna oleh akal sehat. Kesimpulannya tidak ada
lagu/musik yang mampu dicegah masuknya ke dalam otak kita, walaupun kita
berkata "saya tidak mendengarkan syairnya".
Seorang peneliti, Donald Hodges,
mengemukakan bahwa bagian otak yang dikenal sebagai Planum Temporale dan Corpus
Callosum memiliki ukuran lebih besar pada otak musisi jika dibandingkan dengan
mereka yang bukan musisi. Kedua bagian ini bahkan lebih besar lagi jika para
musisi tersebut telah belajar musik sejak usia yang masih sangat muda yakni di
bawah usia tujuh tahun. Gilman dan Newman (1996) mengemukakan bahwa Planum
Temporale adalah bagian otak yang banyak berperan dalam proses verbal dan
pendengaran, sedangkan Corpus Callosum berfungsi sebagai pengirim pesan berita
dari otak kiri kesebelah kanan dan sebaliknya. Seperti kita ketahui otak
manusia memiliki dua bagian besar, yaitu otak kiri dan otak kanan. Walaupun
banyak peneliti mengatakan bahwa kemampuan musikal seseorang berpusat pada
belahan otak kanan, namun pada proses perkembangannya proporsi kemampuan yang
tadinya terhimpun hanya pada otak kanan akan menyebar melalui Corpus Callosum
kebelahan otak kiri. Akibatnya, kemampuan tersebut berpengaruh pada
perkembangan linguistik seseorang. Dr. Lawrence Parsons dari Universitas Texas
San Antonio menemukan data bahwa harmoni, melodi dan ritme memiliki perbedaan
pola aktivitas pada otak. Melodi menghasilkan gelombang otak yang sama pada
otak kiri maupun kanan, sedangkan harmoni dan ritme lebih terfokus pada belahan
otak kiri saja. Namun secara keseluruhan, musik melibatkan hampir seluruh
bagian otak. Dr. Gottfried Schlaug dari Boston mengemukakan bahwa otak seorang
laki-laki musisi memiliki Cerebellum (otak kecil) 5% lebih besar dibandingkan
yang bukan musisi. Kesemua ini memberikan pengertian bahwa latihan musik
memberikan dampak tertentu pada proses perkembangan otak.
MUSIK
DAN PRODUKSI HORMON
Mary Griffith, seorang ahli fisiologi,
mengemukakan bahwa hipotalamus mengontrol berbagai fungsi saraf otonom, seperti
bernapas, denyut jantung, tekanan darah, pergerakan usus, pengeluaran hormon
tiroid, hormon adrenal cortex, hormon sex, bahkan dapat mengontrol seluruh
metabolisme tubuh kita. Sebuah studi menemukan adanya peningkatan Luteinizing
Hormone (LH) pada saat mendengarkan musik. LH adalah suatu hormon sex yang
merangsang pematangan sel telur.
Penelitian lain oleh Satiadarma (1990)
dilakukan dengan cara mengukur suhu kulit menggunakan alat Galvanic Skin
Response (GSR). Pada saat subyek penelitian mendengarkan musik hingar-bingar,
maka suhu kulit lebih rendah dari pada suhu basal (suhu normal individu
tersebut tanpa musik). Sebaliknya, ketika musik lembut diperdengarkan, suhu
kulit meninggi dari biasanya. Hal ini menunjukkan adanya suatu hormon stress
yang dilepaskan oleh otak, yaitu Adrenalin, yang dapat mempengaruhi bekerjanya
pembuluh darah di kulit untuk vasokonstriksi (menyempit) atau vasodilatasi
(melebar). Pada kondisi stress, adrenalin banyak dikeluarkan dan pembuluh darah
kulit menyempit, sehingga suhu kulit menurun. Kesimpulannya adalah jenis musik
hingar-bingar dapat menyebabkan kita stress, sedangkan musik lembut memiliki
efek menenangkan.
Penelitian oleh Ann Ekeberg menunjukkan
pengaruh jenis musik terhadap denyut jantung. Siswa di sebuah sekolah menjadi
subyek penelitian dan mereka diukur kecepatan denyut nadinya sebelum mendengar
musik. Kemudian musik jenis hard rock diperdengarkan selama 5 menit. Semua
siswa harus tetap duduk tenang di kursi mereka. Pada akhir tes, denyut nadi
diperiksa kembali dan dicatat. Hasilnya adalah peningkatan denyut nadi sebesar
7-12 denyut per menit. Tore Sognefest, seorang Master in Music dari Academy of
Music, Bergen, Norway, melakukan tes yang serupa terhadap siswa di sekolahnya.
Musik dari grup AC/DC, "Hell's Bells" diperdengarkan dan hasilnya
denyut nadi meningkat 10 denyut per menit, sedangkan waktu "Air" dari
Bach dimainkan, denyut nadi menurun 5 denyut per menit. Kesimpulannya, walaupun
pendengar duduk diam di kursinya, energi yang berlebihan dari musik rock tetap
akan mempengaruhi jantung untuk berdetak lebih cepat. Itu sebabnya pendengar
musik rock sangat sulit untuk duduk diam bila mendengar musik yang mempercepat
denyut jantung. Energi yang terakumulasi akan mencari jalan untuk dilepaskan.
Selain meningkatkan denyut jantung, tekanan
darahpun dapat meningkat oleh adanya adrenalin. Hal ini juga akan kembali
meningkatkan produksi adrenalin, karena tubuh yang berada dalam keadaan stress,
berusaha untuk mengatasinya dengan memproduksi lebih banyak adrenalin agar
alert/waspada. Jika denyut stress ini berlangsung terus menerus, misalnya pada
sebuah konser rock yang panjang, maka jumlah adrenalin yang diproduksi menjadi
berlebihan, dan tubuh tidak mampu lagi untuk membuang kelebihan ini. Sebagian
kelebihan adrenalin ini akan diubah oleh tubuh menjadi zat kimia lain yang
dikenal dengan adrenochrome (C9H9O3N). Sebenarnya senyawa ini adalah suatu obat
psikotropika yang mirip dengan LSD, Mescaline, STP, dan Psylocybin. Beberapa
tes menunjukkan bahwa zat ini menimbulkan suatu ketergantungan, seperti
obat-obat lainnya. Jadi tidaklah aneh bila orang 'high' dalam sebuah konser
rock, memasuki kondisi trance dan kehilangan kontrol diri. Sebagaimana dalam
semua keadaan ketergantungan / adiksi, maka akan terjadi toleransi. Musik yang
sama yang semula dapat menimbulkan rasa excitement, sekarang tidak lagi
memuaskan. Dibutuhkan kepuasan yang lebih tinggi, dibutuhkan musik yang lebih
keras, lebih kacau dan lebih tidak beraturan. Dimulai dengan soft rock,
kemudian rock'n'roll, dan dilanjutkan menjadi heavy metal rock.
David Noebel, meneliti bahwa nada bass
dengan getaran frekuensi rendah bersama-sama dengan dentuman drum, mempengaruhi
cairan serebrospinal, yang akan mempengaruhi kelenjar Pituitary di otak.
Kelenjar ini memiliki fungsi sekresi berbagai hormon tubuh.
Peneliti lain di Denver, Colorado, Amerika
Serikat membandingkan berbagai macam efek oleh berbagai jenis musik terhadap
tanaman. Tanaman-tanaman itu ditempatkan di dalam lima buah rumah tanaman yang
identik. Tanah, cahaya, dan kondisi air dibuat persis sama satu sama lain dan
jenis tanamannya pun sama. Selama beberapa bulan peneliti memperdengarkan jenis
musik yang berbeda pada masing-masing rumah tanaman tersebut. Rumah pertama,
karya Bach; yang kedua, musik India; yang ketiga, hard rock; yang keempat,
musik country dan Barat; sedangkan yang kelima, tidak diperdengarkan musik
apapun. Hasilnya, di rumah tanaman yang hanya diperdengarkan musik hard rock,
tidak ada hasil pertumbuhan sama sekali. Pertumbuhan berhenti dan tidak mau
berbunga. Di rumah tanaman yang dengan musik Bach dan India, tanaman nampak
hijau, tumbuh dengan subur, sehat, dan berbunga banyak. Tanaman yang
mendengarkan musik country dan Barat tumbuh sama seperti tanaman yang tidak
diperdengarkan musik, pertumbuhannya biasa saja dengan jumlah bunga normal.
Tentunya tidak ada hubungan emosional pada tanaman, namun pasti terjadi sesuatu
melalui frekuensi gelombang suara yang mempengaruhi laju pertumbuhan mereka.
Kalau musik mempunyai pengaruh yang sangat dalam terhadap organisme sederhana
seperti itu, apa pengaruhnya terhadap sistem yang lebih kompleks? Musik juga
dikenal sebagai wahana terapi. Sejak zaman dahulu dikenal penyembuhan fisik dan
mental melalui musik. Daud memainkan kecapi sambil menyanyi untuk menyembuhkan
Raja Saul yang sedang gundah. Musik juga dipakai oleh Raja Philip V dari
Spanyol, Raja George II dari Inggris, dan Raja Ludwig II dari Bavaria untuk
penyembuhan. O'Sullivan (1991) mengemukakan bahwa musik mempengaruhi imaginasi,
intelegensi dan memori, di samping juga mempengaruhi hipofisis di otak untuk
melepaskan endorfin. Endorfin kita ketahui dapat mengurangi rasa nyeri,
sehingga dapat mengurangi penggunaan obat analgetik, juga menurunkan kadar
katekolamin dalam darah, sehingga denyut jantung menurun. Mornhinweg (1992)
meneliti 58 subyek sehat untuk menilai jenis musik mana yang menurunkan stress.
Musik klasik ternyata memberikan efek relaksasi yang dapat dibuktikan secara
statistik dibandingkan dengan musik "new age". Musik yang menenangkan
ini juga dipakai dalam pengobatan penderita infark miokard (serangan jantung),
pasien sebelum operasi, bahkan untuk menurunkan stress pasien yang menunggu di
ruang tunggu praktek.
HUBUNGAN
MUSIK DENGAN RITME TUBUH
Sesungguhnya manusia adalah mahluk yang
ritmik. Ada siklus gelombang pada otak, siklus tidur, denyut jantung, sistem
pencernaan, dan lain-lain yang kesemuanya bekerja dalam satu ritme. Fenomena
ritmik ini bukan hanya terjadi pada manusia, tetapi pada hampir semua mahluk
hidup, termasuk tumbuh-tumbuhan. Bila ada gangguan terhadap ritme tubuh ini,
maka dapat terjadi berbagai penyakit, seperti diabetes, kanker, dan gangguan
pernapasan. Peneliti David A. Noebel menemukan bahwa ritme musik rock dapat
mengganggu kadar insulin dan kalsium dalam tubuh. Sumber makanan otak kita
didapat dari gula dalam darah, namun bila darah lebih banyak dialirkan ke organ
lainnya, maka otak akan kekurangan gula. Dengan demikian daya pikir dan
pertimbangan moral juga menjadi tumpul. Tidak heran bila orang mendengar musik
rock dalam sebuah konser, mereka dapat berbuat apa saja, tanpa pertimbangan.
Jantung manusia berdenyut 70-80 kali per menit dengan teratur, denyut jantung
bila didengar dengan stetoskop akan berbunyi DUG-dug-...... Bunyi pertama lebih
keras, bunyi kedua lebih lemah, diikuti fase istirahat. Musik yang baik
memiliki ritme DUG-dug-DUG-dug untuk 4/4 dan DUG-dug-dug untuk 3/4. Ini adalah
jenis irama yang sehat, karena sesuai dengan ritme tubuh. Musik rock memiliki
ritme yang terbalik, dug-DUG-dug-DUG. Ritme yang lebih keras jatuh pada ritme
ke-dua dan ke-empat. Atau dug-dug-DUG, sehingga ritme keras jatuh pada ritme
ke-tiga, dikenal dengan istilah "back beat"/anapestic beat. Ritme keras
bahkan dapat jatuh pada sembarang tempat, disebut sebagai "break
beat". Ritme demikian berbahaya bagi tubuh, karena berlawanan dengan ritme
tubuh yang sehat.
Menurut John Diamond, seorang dokter di New
York, ritme yang berlawanan dengan ritme tubuh akan mengganggu sinkronisasi
antara kedua sisi otak, dengan demikian simetri antara otak kiri dan kanan
tidak ada lagi. Ia mencoba memperdengarkan musik rock pada pekerja pabrik,
ternyata produktivitas menurun. Dibutuhkan jenis musik dengan ritme tertentu untuk
dapat meningkatkan produktivitas pekerja, bila musik yang dipilih salah, maka
pasti akan berefek buruk. Dalam laboratorium ia mencoba memberi beban pada
lengan pria dan ternyata mampu menahan sampai 45 pound. Namun bila musik rock
didengarkan, maka kemampuan itu menurun. Peneliti lain dari Stanford University
mencatat hubungan antara otak, otot dan musik untuk menghasilkan pekerjaan yang
baik. Sebuah alat mengukur gelombang elektrik dari otot para wanita pekerja;
musik didengarkan dan gelombang otot dicatat. Musik dengan ritme tidak teratur
menghasilkan gelombang elektrik otot yang tampak seperti orang yang tidak
pengalaman bekerja dengan tangannya. Namun dengan musik yang ritmenya teratur,
gelombang elektriknya menunjukkan gelombang seperti pekerja yang pengalaman,
sehingga efisiensi kerja bertambah.
Peneliti lain mencoba merekam gelombang
otak selama diperdengarkan ritme anapestic, terjadi gangguan pada gelombang
alfa otak, sehingga terjadi "switching". Switching adalah sebuah
fenomena yang timbul pada orang dewasa yang sakit jiwa/gila (skizofrenia), di
mana orang tersebut akan menjadi seperti anak kecil dan berjalan seperti hewan
melata/reptil (merangkak dengan kaki-tangan bersamaan sisi, yang seharusnya
berlawanan). Bila hubungan otak kanan dengan kiri berjalan normal, maka seperti
bayi normal akan merangkak dengan kaki-tangan berlawanan sisi. Gerakan orang
yang mendengar musik rock sering "bopping", yang juga merupakan
gerakan sesisi/homolateral. Ternyata tidak semua musik rock memiliki ritme
anapestik, musik klasikpun ada yang memiliki ritme demikian. Finale pada lagu
Rite of Spring dari Igor Stravinsky, memiliki ritme ini. Pada pertama kalinya
lagu ini dimainkan dalam konser di Paris tahun 1913, terjadi kerusuhan dan
pengrusakan gedung konser. Hanya dalam waktu 10 menit telah mulai terjadi
perkelahian.
Peneliti lain menggunakan tikus sebagai
subyek penelitian. Studi ini dilakukan dengan memperdengarkan musik dengan
bunyi yang tidak beraturan dan dengan suara drum yang terus menerus.
Tikus-tikus ini pada akhirnya bukan saja mengalami kesulitan belajar dan
gangguan memori, namun juga perubahan struktur sel-sel otak. Neuron menunjukkan
adanya kerusakan "wear and tear" karena stress. Diambil suatu
kesimpulan, bahwa ritme-lah yang dapat mengganggu keseimbangan otak, bukan
melodi atau harmoni. Setiap mahluk hidup memiliki ritme, bila harmoni ritme ini
diganggu oleh suatu disharmoni, maka akan timbul efek yang merusak. Nordwark
(1970) dan Butler (1973) melaporkan bahwa stimulasi auditorik yang terjadi
terus menerus akan menyebabkan terjadinya adaptasi. Suara kereta yang terus
menerus akan menyebabkan respons inhibisi/menghambat pada sistem pendengaran.
Reaksi adaptasi ini terjadi dalam waktu 3 menit dan baru dapat hilang setelah
periode pemulihan selama 1-2 menit. Musik bila akan digunakan sebagai
pengobatan, harus mampu merangsang pelepasan endorfin. Bila terjadi inhibisi,
maka proses ini tidak terjadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar